HILANGKAN STIGMA
PADA ORANG YANG PERNAH MENGALAMI KUSTA (OYPMK)
“Awal mulanya saat melahirkan putra pertama pada tahun 2008 akhir, sakit Saya diketahui oleh Bu Bidan. Ada bercak berwarna kemerahan pada kulit Saya. Selanjutnya, Saya diminta ke puskesmas oleh Bu Bidan untuk periksa dan ternyata didiagnosis kusta. Saya ingin sembuh karena melihat anak Saya. Ibu Saya meminta Saya untuk mati. Saya dikucilkan oleh lingkungan. Tapi karena anak, saya semangat untuk sembuh”
Demikianlah cuplikan testimoni salah seorang OYPMK dari Kabupaten Jombang yang disampaikan saat pertemuan advokasi kusta di Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang pada bulan Desember 2015.
Kusta merupakan penyakit menular yang menyerang saraf tepi dan dapat menyebabkan kecacatan. Kuman penyebab penyakit ini adalah Mycobacterium leparae yang pertama kali didentifikasi oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen dari Norwegia pada tahun 1873. Meskipun saat ini sudah ada pengobatan yang efektif dengan Multi Drug Therapy (MDT), namun kasus kecacatan akibat kusta masih banyak. Angka kecacatan di Jawa Timur masih cukup tinggi. Untuk kecacatan yang sudah nampak nyata (atau di dalam program disebut sebagai Cacat Tingkat II) pada tahun 2014 sebesar sebesar 11% dan pada tahun 2015 sebesar 10%. Target yang diharapkan untuk angka kecacatan adalah kurang dari 5%. Angka kecacatan tingkat II yang tinggi tersebut menunjukkan adanya keterlambatan pasien kusta dalam berobat. Beruntung OYPMK yang melakukan testimoni tidak mengalami kecacatan karena segera diketahui dini oleh tenaga kesehatan dan segera mendapatkan pengobatan.
Keterlambatan berakibat kecacatan, itu adalah hal yang perlu dihindari dalam pengendalian kusta. Salah satu penyebab terjadinya keterlambatan adalah adanya stigma kusta.
Stigma berasal dari bahasa Yunani yang awalnya merujuk pada pemberian tanda berupa tanda semacam tato pada tubuh seseorang dengan memotong atau membakar kulit pelaku tindak kejahatan, budak atau pengkhianat yang dianggap sebagai orang yang tidak berguna dan menjadi penyakit masyarakat. Pada akhirnya kata stigma ditujukan pada seseorang yang dianggap memalukan atau dideskriditkan. Terkait dengan konteks kesehatan, stigma didefinisikan oleh Erving Goffman sebagai atribut yang menandakan bahwa seorang individu yang berbeda dari orang normal dan, lebih lanjut, bahwa orang tersebut tidak diinginkan, buruk, lemah atau bahkan berbahaya.
Orang kusta atau orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif karena adanya stigma pada mereka. Banyak hal yang mempengaruhi timbulnya stigma pada pasien kusta dan OYPMK. Dalam literatur disebutkan bahwa stigma akan terjadi bila terdapat kondisi sebagai berikut:
1. Orang membedakan dan ada penyebutan perbedaan antar manusia
2. Adanya keyakinan budaya yang dominan yang menyebutkan karakterteristik yang tidak diinginkan dan ada penilaian yang berdasarkan persepsi yang mengarah pada kondisi negatif
3. Adanya pemisahan pada orang dengan kondisi yang berbeda dengan penyebutan “kami” dan “mereka”
4. Adanya kerugian pada orang yang diberi label berbeda karena diskriminasi dan kehilangan status sebagai orang normal
Pada kasus kusta sudah ada penyebutan perbedaan antara orang yang kusta dengan orang yang tidak kusta. OYPMK tetap disebut sebagai orang kusta, meskipun secara medis sudah dinyatakan sembuh. Budaya dominan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat menyebutkan bahwa kondisi kusta merupakan kondisi negatif. Salah satu bukti bahwa sakit kusta merupakan kondisi negatif tersebut adalah adanya penyebutan kusta sebagai penyakit “daging jelek” yang diucapkan dalam bahasa daerah mereka. Sekat yang timbul antara pasien kusta dan OYPMK dengan masyarakat yang tidak terdampak kusta merupakan bentuk pemisahan karena ada sesuatu yang “berbeda”. Beberapa kasus bahkan menyebabkan munculnya kelompok masyarakat yang tersendiri dengan anggota masyarakat terdiri dari orang yang terdampak kusta. Pada tingkatan berikutnya, muncul adanya perlakuan diskriminatif pada orang yang pernah mengalami kusta dalam berbagai bentuk, hingga ada pembatasan akses ekonomi dan sosial seperti tidak diterimanya produk olahan/dagangan mereka atau orang tidak mau hadir bila diundang makan dalam acara syukuran.
Fenomena seperti di atas masih dijumpai pada penderita kusta di Jawa Timur. Semestinya hal tersebut tidak perlu terjadi sehingga penderita kusta dan OYPMK dapat hidup dan beraktifitas normal. Hilangnya stigma akan menyebabkan OYPMK dapat melakukan kegiatan ekonomi sehingga mereka tetap menjadi manusia yang produktif.
Gambar: Kelompok Perawatan Diri Puskesmas Grati Kabupaten Pasuruan
Kelompok Perawatan Diri (KPD) merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat mengurangi stigma pada OYPMK yang terlibat di dalammya bersama dengan penderita kusta yang masih menjalani pengobatan. Pada KPD yang telah berjalan dengan baik, akan ada kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian OYPMK. Masyarakat dapat ikut terlibat atau memberikan dukungan pada mereka sehingga stigma dapat dikurangi sedikit demi sedikit. KPD bukanlah kegiatan eksklusif yang memisahkan penderita kusta/OYPMK dengan masyarakat, namun sebagai sarana untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka dengan adanya hasil yang bermanfaat bagi masyarakat.